Selasa, 15 September 2015

artaud yang menamai dirinya artaud

seteguk teh berjarak dari piramid louvre, artaud muda bergumam pada langit berhujan seputih kapas. butir demi butir salju jatuh ke jalanan bersusun batu, mengantarnya pergi dengan kereta uap ke marseille, menunggu kapal rempah ke jawa, berlayar bersama menuju tanah koloni.

3 bulan lagi.

-

di banaran kami berjumpa, kebun kopi robusta yang membanjiri pasar eropa. disini, di kedai yang menyangrai kopi beraroma bakar daging kelapa. artaud menulis puisinya di kertas daluang, dengan pena bulu angsa, sesekali menghiasinya dengan gambar bebungaan dari ampas kopi. ia terlihat seperti kerumitan yang, bagi kami penikmat voltaire, seperti takdir zadig.
aku ingin menjadi artaud, demikian katanya, meninggalkan antonin muda tersesat dalam belantara filsafat, yang dengan bangga para pemuja menamainya rennaisance. pada saat yang sama memaksa orang berpikir dangkal, yang di kemudian hari, dengan bangga seorang pengidap sipilis dari jerman menamainya gairah dionisian.
di ujung kebun banaran, bebunyian bonang dan saron terdengar sayup dalam senja yang memerah, seperti mengeja bait puisi lelaki jangkung agak gemulai itu. merayakan kerumitannya sendiri, seperti artaud, lalu menjadi artaud.

Tidak ada komentar: